Sejarah Singkat Desa Pulau Persatuan
Desa Pulau Persatuan adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Desa ini terdiri dari empat pulau, yaitu Pulau Kanalo I, Pulau Kanalo II, Pulau Katindoang, dan pulau wisata tak berpenghuni, yaitu Pulau Larea-rea, serta Gusung Lapoi-Poi, sehingga dapat dikatakan sebagai Pulau Persatuan. Secara geografis, Desa Pulau Persatuan terletak di dataran rendah yang dikelilingi oleh rumput laut, sehingga budidaya rumput laut menjadi mayoritas mata pencaharian masyarakat. Desa Pulau Persatuan merupakan pemekaran dari Kelurahan Pulau Sembilan pada tahun 2002. Desa ini melewati perkembangan sejarah yang cukup panjang dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk aspek sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Pada mulanya, Pulau Kanalo dinamakan Pulau Tadina, pergantian nama ini diperkirakan terjadi setelah kemerdekaan Indonesia—tahun 1945. Kata "Tadina" sendiri berasal dari Bahasa Bajo yang berarti tempat pemakaman. Konon katanya, dahulu pulau ini merupakan tempat pemakaman bagi orang-orang yang gugur di masa penjajahan. Sedangkan, Pulau Katindoang awalnya disebut dengan nama Pulau Koko. Menurut kepercayaan di sini, konon pulau ini diberi nama Pulau Koko karena orang-orang dahulu sering melihat sosok Koko mengetuk atau memukul perahu orang yang sedang melaut dengan bentuk menyerupai manusia batu berpostur bungkuk, berkuku panjang, serta bermata dalam dan gelap yang muncul pada waktu-waktu tertentu, seperti malam ke-empat belas purnama.
Adapun kepala desa yang pernah memimpin di Desa Pulau Persatuan berturut-turut:
No.
|
Nama
|
Jabatan
|
Periode
|
Keterangan
|
1.
|
A. Arifuddin
|
PLT Kepala Desa
|
2002-2004
|
PLT
|
2.
|
Yusrah
|
Kepala Desa
|
2004-2015
|
Defenitif
|
3.
|
A. Abdul Latif, S.Sos
|
PLT Kepala Desa
|
2015
|
PLT
|
4.
|
H. Ibrahim, S.IP
|
Kepala Desa
|
2015-2021
|
Defenitif
|
5.
|
Baharuddin, S.Sos
|
PLT Kepala Desa
|
2021-2022
|
PLT
|
6.
|
H. Ibrahim, S.IP
|
Kepala Desa
|
2022-Sekarang
|
Defenitif
|
Pendudukan Awal
Desa Pulau Persatuan, terkhususnya di Pulau Kanalo I pertama kali didatangi oleh orang Suku Bajo yang berasal dari Kecamatan Bajoe, Kabupaten Bone. Menurut informasi, awalnya Suku Bajo melakukan pelayaran atau melaut mencari ikan dan hanya menjadikan pulau ini sebagai tempat persinggahan karena angin yang berhembus kencang, hingga kemudian mereka tinggal dan menetap sampai saat ini. Berdasarkan informasi, Orang Suku Bajo yang menetap pertama bernama Genda (laki-laki) dan Nating (perempuan) yang berasal dari Kecamatan Salomekko, Kabupaten Bone. Selanjutnya, orang-orang Suku Bugis juga menghuni pulau ini. Menurut cerita, Suku Bugis pertama yang menetap merupakan pasangan suami-istri yang bernama Makkatuo (laki-laki) dan Katu’ (perempuan) yang berasal dari Desa Baringeng, Kecamatan Sinjai Timur. Hal ini menyebabkan terjadinya akulturasi dan asimilasi budaya antara Suku Bajo dan Suku Bugis.
Pertahun 2022, jumlah penduduk Desa Pulau Persatuan telah mencapai sekitar 1245 jiwa, di antaranya laki-laki 626 jiwa dan perempuan berjumlah 614 jiwa.
Tempat Sakral di Desa Pulau Persatuan
a. Gusung Lapoi-Poi
Gusung Lapoi-Poi termasuk ke dalam salah satu tempat yang disakralkan di Desa Pulau Persatuan. Gusung Lapoi-Poi berupa hamparan pasir putih dengan pohon tunggal yang tumbuh di atas batu selama ratusan tahun hingga menjadi bonsai. Gusung ini terletak di antara Pulau Katindoang dan Pulau Batanglampe. Menurut cerita rakyat sekitar, konon Gusung Lapoi-Poi ini merupakan pulau yang mencari teman (baca: tempat). Dahulu, Gusung ini termasuk ke dalam sepuluh pulau yang ada di Pulau Sembilan dan ke-sepuluh pulau ini saling mencari pasangan atau teman. Diantaranya ialah Pulau Kanalo I berpasangan dengan Pulau Kanalo II, Pulau Katindoang dan Pulau Larea-rea, Pulau Batang Lampe dengan Pulau Kodingare, Pulau Kambuno dengan Pulau Liang-Liang.

Dokumentasi 1: Gusung Lapoi-Poi
Di sisi lain, menurut cerita, Lapoi-Poi ingin berpasangan dengan Burung Loe, namun gusung ini malu karena ukurannya terlalu kecil. Akhirnya, Burung Loe menendangnya dan Lapoi-Poi pun berlindung. Hal ini dipercayai membuat Gusung Lapoi-Poi tidak terlihat jika dipandang dari Pulau Burung Loe. Di gusung ini juga terdapat cerita mistis mengenai sepasang burung rajawali putih yang ukurannya melebihi ukuran tubuh manusia dan menampakkan diri di saat-saat tertentu, namun tidak semua orang bisa melihatnya.
b. Pulau Larea-rea
Pulau Larea-rea adalah pulau wisata tak berpenghuni seluas 0,15 Ha yang termasuk ke dalam wilayah administratif Desa Pulau Persatuan. Pulau ini terletak di gugusan Pulau Sembilan, perairan Teluk Bone. Menurut informasi, nama Pulau Larea-rea diberikan karena dahulu kondisi pulau ini dipenuhi oleh rumput ilalang yang tinggi. Istilah Larea-rea sendiri berasal dari Bahasa Bugis, yaitu Area yang berarti rumput tinggi.
Pulau Larea-rea dikelola secara resmi oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sinjai pada tahun 2016. Pulau Larea-rea memiliki keunikan alam berupa pasir putih, pasir timbul ketika air laut surut, air yang jernih, ombak yang tenang, pemandangan bawah laut yang masih alami, dan pemandangan 8 deretan pulau. Kegiatan atau aktivitas yang dapat dilakukan oleh pengunjung Pulau Larea-Rea adalah menikmati keindahan pantai dan laut, berfoto, berenang, snorkeling dan diving namun dengan membawa peralatan sendiri serta berkemah.

Dokumentasi 2: Pulau Larea-rea
Hingga saat ini, Pulau Larea-rea dilengkapi dengan fasilitas dermaga, vila, pusat jajanan atau kuliner, gazebo atau pergola, ruang ganti dan toilet umum, musholla, kios cenderamata, serta anjungan 'Larea-rea Island'. Di Pulau Larea-rea juga terdapat tiga buah makam di atas batu besar yang hingga kini tidak diketahui asal-usulnya dan bagaimana cara pemakamannya.
c. Pattiro Sompe’
Pattiro Sompe’ terletak di sebelah tenggara Pulau Kanalo I. Secara etimologi, kata Pattiro Sompe’ berasal dari bahasa Bugis, yaitu Pattiro berarti tempat melihat atau tempat memandang dan Sompe' yang berarti berlayar (baca: mencari rezeki). Sehingga Pattiro Sompe’ dapat digambarkan sebagai sebuah tempat di mana orang-orang dapat melihat atau mengamati orang-orang yang sedang mencari rezeki atau merantau.

Dokumentasi 3: Pattiro Sompe’
Di Desa Pulau Persatuan, Pattiro Sompe’ sering dikaitkan dengan kehidupan masyarakat pesisir yang memiliki kegiatan perekonomian melaut. Pattiro Sompe’ bisa menjadi sebuah titik pandang dari Pulau Kanalo I, dimana masyarakat menunggu kedatangan orang yang sedang melaut mencari ikan di atas batu Pattiro Sompe’, karena letaknya yang strategis menampilkan hamparan laut yang luas. Menurut cerita, tempat ini disakralkan karena beberapa kali terlihat sinar terang mengelilingi batu pada malam-malam tertentu, seperti malam Jumat. Selain itu, dahulu Pattiro Sompe’ juga sering digunakan sebagai tempat menaruh sesajen.
d. Batu Payung
Batu Payung adalah salah satu kawasan unik dan menarik yang terletak di sebelah utara Pulau Kanalo II. Batu ini terletak di tepi pantai, dikelilingi oleh pasir putih dan air laut yang jernih. Terdapat pepohonan hijau yang tumbuh di sekitarnya, menambah keindahan pemandangan. Nama Batu Payung diberikan karena bentuk batu ini seperti payung yang terbuka dan menaungi orang-orang yang berdiam di bawahnya.

Dokumentasi 4: Batu Payung
Batu ini memiliki warna keabu-abuan, khas batuan alami yang telah terkikis oleh angin dan ombak selama bertahun-tahun. Konon, batu ini merupakan tempat keramat bagi masyarakat Desa Pulau Persatuan dan pernah digunakan untuk pelaksanaan berbagai ritual adat. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, tradisi-tradisi tersebut telah memudar.
e. Pattiro Lakka’i

Dokumentasi 5: Pattiro Lakka’i
Pattiro Lakka’i merupakan salah satu tempat yang disakralkan di Desa Pulau Persatuan. Hampir sama seperti Pattiro Sompe’, tempat ini digunakan oleh para istri untuk melihat suaminya yang sedang melaut, entah mencari ikan, menanam benih rumput laut, atau pun berbagai kegiatan ekonomi lainnya.
Adat dan Tradisi
a. Pengibaran Bendera Ula-Ula pada Pernikahan Suku Bajo.
Tradisi orang Bajo di Desa Pulau Persatuan yang masih lestari hingga saat ini adalah pengibaran bendera Ula-Ula berdampingan dengan bendera Merah-Putih menjelang pesta pernikahan. Tidak semua orang Suku Bajo berhak memiliki dan menyimpan bendera Ula-Ula. Berdasarkan kepercayaan dan keyakinan Suku Bajo di desa ini, hanya keturunan asli Suku Bajo atau biasa disebut Lolo Bajo yang dapat menyimpan dan merawat bendera Ula-Ula.

Dokumentasi 6: Bendera Ula-Ula Pertama di Desa Pulau Persatuan
Ketika menaikkan bendera Ula-Ula harus diiringi dengan taburan gendang yang disebut Genrang Sanro. Genrang Sanro merupakan gendang yang sangat penting dan bersifat mutlak untuk dibunyikan setiap akan melakukan upacara pengibaran bendera Ula-Ula. Masyarakat Suku Bajo menganggap, ketika ada acara pernikahan dan bendera Ula-Ula ini dinaikkan, namun tidak diiringi dengan tabuhan Genrang Sanro, maka salah satu dari keluarga mereka akan mengalami kerasukan. Selain itu, saat menaikkan bendera juga diselipkan kesenian-kesenian tradisional seperti pencak silat yang dalam Bahasa Bajo disebut dengan istilah 'Amanca'.

Dokumentasi 7: Benda Pusaka di Desa Pulau Persatuan
Prosesi pengibaran Ula-Ula dilakukan tiga hari sebelum akad atau resepsi pernikahan, dan diturunkan dua hari setelah pesta usai. Bentuk Ula-Ula menyerupai gurita, lengkap dengan kepala, badan, kaki, dan wajah bergambar manusia. Ukurannya sangat panjang, dengan warna hitam di bagian kepala, merah di tengah, dan putih di bagian bawah. Bendera Ula-Ula pertama kali dijahit oleh Kulo, salah satu tokoh pertama Suku Bajo di wilayah tersebut. Saat ini, mulai banyak masyarakat Suku Bajo yang tidak lagi mengibarkan Ula-Ula, terkhususnya di Desa Pulau Persatuan. Hal ini disebabkan oleh upaya menghindari kejadian-kejadian aneh yang dipercaya dapat terjadi jika ada yang mengkritik atau mencela bentuk bendera tersebut.
b. Mappasahe'
Mappasahe’ merupakan salah satu adat turun-temurun yang masih dilakukan oleh masyarakat Desa Pulau Persatuan. Mappasahe' digambarkan sebagai bentuk meminta izin yang dilakukan saat masyarakat ingin menurunkan kapal untuk pertama kalinya ke laut. Menurut informasi, ritual ini juga merupakan representasi dari rasa syukur dan permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki yang diberikan melalui laut. Secara umum, laut dianggap sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir, sehingga perlu dihormati dan dijaga keseimbangan dan kelestariannya. Adapun prosesnya, yaitu masyarakat mempersiapkan berbagai sesaji atau persembahan yang akan dilarung ke laut. Sesaji ini biasanya berupa makanan tradisional, seperti nasi ketan, kue-kue, buah-buahan, atau pun sembelihan hewan yang telah diolah.
(KKNT GEL. 113 UNIVERSITAS HASANUDDIN)